Kultum Tentang Beberapa Kebiasaan Di Bulan Ramadhan
Diposting oleh :
M Delfi Saputra | Dirilis :
05.36 | Series :
Beberapa kebiasaan di bulan Ramadhan
Seperti kita ketahui bersama bahwa Ramadan adalah
bulan yang penuh dengan kebaikan, bulan yang penuh dengan ampunan, bulan yang
penuh berkah, bulan yang Insya Allah membawa manusia dalam taraf keimanan yang
paling tinggi.
Berbagai kebaikan yang kita kerjakan di bulan Ramadan
akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah? Jika kita mengerjakan
ibadah sunnah, maka ganjarannya akan sama dengan mengerjakan ibadah wajib di
hari-hari lainnya. Dan bila kita mengerjakan ibadah wajib, maka Allah akan
mengganjarnya dengan pahala 700 kali lipat dari pahala di hari-hari biasa.
Belum lagi janji ampunan dari Allah bagi kita. Plus door prize malam
Lailatul Qadar di 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Namun sayangnya banyak sekali orang yang tidak
memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya. Ramadan hanyalah menjadi sebuah
ritual menjelang lebaran, tanpa memiliki dampak apapun bagi kondisi keimanan
kita.
Berikut adalah kesalahan-kesalahan umum dalam
memaknai Bulan Ramadan:
1. Uang belanja bertambah.
Salah satu hikmah puasa adalah agar kita bisa
berempati dengan kesusahan yang dirasakan oleh kaum fakir miskin. Bagaimana
lapar dan dahaganya kaum fakir dan miskin. Beruntungnya, kita masih yakin kapan
kita akan makan, kita hanya menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar hingga
terbenam matahari. Setelah itu kita masih bisa makan sepuasnya, sedangkan bagi
kaum fakir miskin mungkin mereka harus berpuasa tanpa tahu kapan mereka
memiliki uang untuk membeli makanan pengganjal perut.
Dengan merasakan empati yang sama seperti yang
dirasakan oleh fakir miskin, maka kita akan lebih mensyukuri hidup kita. Kita
menjadi lebih peduli untuk berbagi dengan sesama.
Jika jumlah waktu makan kita dibatasi,
logikanya anggaran belanja makanan kita pun berkurang. Namun yang terjadi
malah, anggaran belanja selama bulan Ramadhan malah berlipat ganda. Mengapa ini
bisa terjadi?
Sebagian besar dari kita menganggap ibadah puasa
kita harus diganjar dengan aneka makanan istimewa setelah seharian penuh
menahan lapar dan dahaga. Saat berbuka puasa dan makan sahur, meja makan kita
akan dipenuhi dengan aneka makanan dan minuman yang tidak biasa disajikan di
hari biasa. Tak jarang malah terkadang sangat berlebihan dan terlalu
diada-adakan. Alhasil anggaran belanja pun meningkat drastis. Subhanallah!
Perintah puasa mengajarkan kesederhanaan. Sudah
sepatutnyalah kita berlaku sederhana. Tidak perlu berlebihan.
“Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan……..” (QS al-A’raaf: 31-32).
”Sesungguhnya orang yang mubazir itu adalah
saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan.” (Surah
al-Isra’, ayat 27).
2. Berpuasa tetapi tidak shalat.
Banyak sekali orang yang menjalankan perintah
puasa, tetapi mangkir dalam ibadah shalat. Alasan untuk mangkir dari shalat pun
beragam, ada yang karena tertidur ada yang karena terlalu asyik kongkow-kongkow
bersama teman dalam rangka buka bersama. Percuma saja menahan lapar dari terbit
fajar hingga terbenam matahari kalau tidak shalat. Bukankah shalat itu tiang agama.
Bahkan shalat adalah rukun Islam kedua sebelum puasa. Amal yang pertama kali
dihisab pada hari kiamat adalah shalat.
“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali
akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia
akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia
akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah
Tabaroka wa Ta’ala mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki
amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan
shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”
Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan
(diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu
pula.” (HR. Abu Daud. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam
Misykatul Masyobih no. 1330)
3. Menghabiskan waktu berpuasa dengan tidur, menonton TV, mengobrol, atau membaca bacaan-bacaan yang tidak Islami.
Sering kita mendengar bahwa tidurnya orang puasa
merupakan ibadah. Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang bernama Sulaiman bin
Amr An-Nakhahi.
Namun belakangan diketahui bahwa Sulaiman
bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah
pemalsu hadits.
Beberapa ahli hadits seperti Al Imam Bukhari,
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Yahya bin Ma’in, Yazid bin Harun, bahkan
Imam Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, Sulaiman bin AmrAn-Nakha’i adalah
orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia
memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin minal
muhadditsin wadhdhu’afa wal-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab
Mizanul I’tidal.
Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits
senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu
lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan
tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.
Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita
untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa
tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah
SAW pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk
tidur.
Kalau pun ada istilah qailulah,
maka prakteknya Rasulullah SAW hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya
sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam
sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan. Itupun karena Rasulullah kelelahan
semalam suntuk bergadang untuk bermunajat kepada Allah.
Sekalipun program acara yang dibesut
bertajuk Ramadhan, namun tetap saja tayangannya tak jauh dari parade banci,
banyolan tidak mendidik, mengandung kekerasan fisik dan tekanan psikis, dan
hal-hal lain yang sangat jauh dari nuansa Islami
Beberapa orang menghabiskan waktu dengan menonton
televisi seharian sambil menunggu maghrib. Padahal tidak semua stasiun TV
mengisi bulan Ramadhan dengan tayangan positif dan belum semua stasiun TV
menjadikan Ramadhan sebagai bulan mulia dengan memperbanyak tayangan positif. Sekalipun
program acara yang dibesut bertajuk Ramadhan, namun tetap saja tayangannya tak
jauh dari parade banci, banyolan tidak mendidik, mengandung kekerasan fisik dan
tekanan psikis, dan hal-hal lain yang sangat jauh dari nuansa Islami.
Hanya sedikit stasiun televisi yang berusaha
mengisi Ramadhan dengan tayangan positif dan produktif, baik dari nilai
keagamaan maupun nilai sosial. Salah satunya adalah Metro TV. Semua tayangan
khusus Ramadhannya memiliki nilai-nilai yang mampu meningkatkan kualitas keimanan
dan ketaqwaan seseorang. Dari Tafsir Al Misbah, Sukses Syariah, Inspirasi
Ramadan, Ensiklopedi Islam, dan lain sebagainya.
Ada baiknya bila kita merasa lelah setelah
seharian mengaji dan berzikir, kita menyegarkan pikiran dengan menonton
tayangan Ramadhan yang memiliki nilai positif. Bukan sinetron picisan yang
mengumbar kekerasan dan kedengkian, atau banyolan khas para banci, atau malah
gosip-gosip para pesohor negeri.
Menahan lapar dan dahaga lebih mudah dibandingkan
menahan diri untuk banyak bicara. Ada baiknya mulut kita juga berpuasa dari
dari perkataan-perkataan yang tidak penting yang dapat memancing dosa lebih
jauh. Banyak bicara membuat lidah kita mudah tergelincir untuk berdusta, atau
membicarakan orang lain.
Lalu bagaimana dengan sebagian orang pencinta
buku yang menghabiskan waktu dengan membaca buku?
Membaca buku adalah baik. Namun ada baiknya
buku-buku yang dibaca adalah buku-buku Islami yang dapat meningkatkan Iman dan
Takwa kita. Sungguh ironis, bila berpuasa namun membaca novel porno tetap
jalan.
Kita tidak ingin hanya menahan lapar dan dahaga
seharian penuh tanpa mendapat pahala dari Allah bukan?
4. Ngabuburit di mal tanpa maksud dan tujuan yang jelas.
Daripada menghabiskan waktu di mal untuk window
shopping atau kongkow-kongkow lebih baik di masjid mengkhatamkan bacaan Al
Quran atau memperbanyak ibadah sunnah. Kita tidak perlu capek, atau tergoda
untuk membatalkan puasa. Mata kita tidak perlu melihat hal-hal yang buruk atau
mengurangi pahala puasa. Dan yang terpenting, kita tidak perlu menghabiskan
uang untuk hal-hal yang tidak penting.
5. Sibuk road show dari bukber yang satu ke yang lain, atau sahur keliling.
Sesekali menghadiri acara buka bersama dengan
maksud untuk bersilaturahmi adalah juga bagian dari hikmah berpuasa. Namun
kalau kita malah disibukkan dengan jadwal buka bersama yang padat hingga kita
melalaikan shalat. Itu namanya celaka…
Saya tidak ingin melarang para pembaca sekalian
untuk menghindari reuni yang bertajuk ‘Acara Buka Bersama’. Saya hanya mencoba
mengingatkan, jangan sampai kegiatan buka bersama yang sebenarnya tujuannya
baik malah menjadi ajang maksiat.
Bila orang-orang berkumpul biasanya, lidah begitu
lincahnya berkata-kata membicarakan orang lain (ghibah). Semakin asyik
mengobrol sambil menikmati hidangan berbuka puasa membuat kita malah melalaikan
ibadah wajib, yakni shalat Maghrib.
6. Mudik menjadi alasan untuk tidak berpuasa dan shalat.
Menjama’ shalat dibolehkan bila seseorang berada
dalam keadaan safar (perjalanan). Namun para ulama menetapkan bahwa sebuah safar
itu minimal harus menempuh jarak tertentu dan ke luar kota. Di masa Rasulullah
SAW, jarak itu adalah 2 marhalah. Satu marhalah adalah jarak yang umumnya
ditempuh oleh orang berjalan kaki atau naik kuda selamasatu hari. Jadi jarak 2
marhalah adalah jarak yang ditempuh dalam 2 hari perjalanan.
Di zaman sekarang ini, ketika jarak itu
dikonversikan, para ulama mendapatkan hasil bahwa jarak 2 marhalah itu adalah
89 km atau tepatnya 88, 704 km. Maka tidak semua perjalanan bisa membolehkan
shalat jama’, hanya yang jaraknya minimal 88, 704 km saja yang membolehkan.
Bila jaraknya kurang dari itu, belum dibenarkan untuk menjama’.
Ritual tahunan mudik seringkali menjadi
pembenaran orang-orang untuk tidak berpuasa dan shalat. Alasannya karena mereka
adalah musafir. Memang benar Allah memberikan keringanan bagi mereka yang
sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa dan menggabungkan/meringkas
bilangan rakaat shalat bila telah mencapai jarak 88,704 km.
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw
bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari
4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at Tabrani dan ad-Daruqutni)
“Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra
mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan yang menempuh jarak 4 burd
yaitu 16 farsakh.”
Dan perjalanan yang mendapatkan rukhsoh adalah
perjalanan yang bukan untuk maksiat. Ulama kita menyebutkan:
“Rukhsoh (keringanan) tidak diperoleh jika
bermaksiat.”
Dan hal ini, sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah:
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS Al-Baqarah:173)
Padahal musim mudik biasanya ada pada 10 hari
terakhir Ramadhan dimana Allah melimpahkan bonus pahala yang berlipat ganda.
Sayang sekali bukan kalau anda menyia-nyiakannya?
7. Sibuk memperbaharui pakaian, rumah, mobil, dan lain-lain tanpa berminat untuk memperbaharui Iman-Islam.
Sebagian besar dari kita mementingkan hal-hal duniawi
untuk menyambut hari yang Fitri. Bagi mereka pakaian baru serba putih, sepatu
baru, cat rumah baru, dan lain-lain sebagainya adalah salah satu cara
pengejawantahan arti kembali suci.
Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke
fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya,
diharapkan kita semua kembali pada fitrah setelah sebulan penuh di ’gojlok’ di
bulan Ramadhan. Menjadi manusia baru yang lebih baik. Jangan sampai berakhir
Ramadhan, berakhir pula tadarus, amal, shalat dan ibadah-ibadah lainnya.
Ada baiknya hal-hal tersebut diatas kita
renungkan secara mendalam, sebab 30 hari di bulan Ramadhan merupakan hari-hari
yang penuh dengan berbagai bonus dari Allah swt, sehingga sangat merugi jika
disia-siakan. Di sisi lain begitu banyak alternatif kegiatan positif lainnya
yang bisa dijadikan aktivitas yang bermakna ibadah tatkala ramadhan.